Jumat, 20 Maret 2009

Kerambah = Kerandah



Lobster yang teraniaya

Sungguh berutung nasib-ku. Hampir tiap weekend aku mendapatkan kesempatan untuk jalan2. Sore itu selepas training badanku penat2 & pegal semua. Sabtu yang seharusnya untuk bersenang2 tapi diisi oleh job search skill training dari pagi hingga sore hari. Begitu training selesai, petualangan dimulai. Petualangan hari ini (14 Maret 2009) mengisahkan kerambah seafood di negri antah berantah.

Dari kejauhan pelabuhan lahewa terlihat ujung tiang2 kapal yang mulai kelihatan hingga tampak jelas dikelopak mataku 2 buah kapal kayu besar berdiri kokoh berlabuh. Disudut kiri pelabuhan kami disambut oleh bangkai2 perahu kecil yang berserakan tak menentu arah. Disudut sebelah kanan tampak nelayan sedang sibuk bercengkram dengan mesin2 tua perahu kecilnya yang dimakan usia yang harus bersaing dengan kapal yang lebih baru, besar & kokoh.

Tampak jelas keceriaan di raut wajah anak2, bermain, melompat dari kapal ke air laut yang sudah terkontaminasi dengan minyak polusi dari kapal. Sedikitpun tak terbesit di raut wajah mereka akan penyakit kulit. Anak2 dipingir pelabuhanpun tak mau kalah unjuk gigi, tertawa, bercanda sambil mengkayuh sepeda butut milik mereka.

Setelah hampir 15 menit perahu yang kami tungu2 tiba juga. Sebuah perahu tua yang dikayuh sedikit demi sedikit merapat ketepi pelabuhan. Kami yang hampir 10 orang menurut skenario harus dilansir 2kali. Setelah malakukan proses ritual bersandar ditepi pelabuhan, mesin tua perahu mulai dihidupkan. Bim salah bim!! Apes mesin tak dapat dihidupkan. Kami memberikan kesempatan bapak itu untuk memperbaikinya. Waktu berjalan terus tanpa ada kompromi, kami mencari alternatif laen karena sudah menunggu lebih dari 10 menit.

Sebuah perahu lumayan besar dengan seorang anak laki2 kelas 3SD bermarga Zalukhu & ayahnya siap menampung dan menghantarkan kami ketujuan. Ditengah perjalan suasana riang & gemberia menyelimuti hati kami. Mentari mulai merapat ketepi Barat. Tapi sunset yang aku tunggu2 tak tampak jelas dilaut. Sinar mentari memantulkan cahaya dipepohonan kelapa dipinggir pantai. Sunset yang berbeda, tampak pemandangan air laut biru temaram kegelapan & kontras dengan pemandangan di tepi pinggir pantai pepohonon kelapa berjejer rapi yang diterangi sinar mentari terbenam. Wahhh indahnya.

Ritual merapat ke kerambah sedikit mengalami gangguan tekhnis, karena kerambah ini tidak di design untuk berlabuh kapal berukuran sedang seperti yang kami tumpangi. Kalau saja perahu ini menabrak kerambah pastilah ikan, lobster, kepeting beserta teman2nya akan kabur terbirit2 melarikan diri kelautan bebas. Berkat keuletan Bapak penjaga kerambah kami dapat berlabuh dengan benturan sedikit nakal. Tak pernah kubayangkan sebelumnya dapat memegang lobster & kepiting hidup2. Takut juga sebenarnya, tapi takut diejek penakut kuberanikan tuk memegangnya. Rupanya cepit kepitingnya sudah diikat dengan tali, perasaan aman pun meningkat diiringi kepercayaan diri.

Ditengah keasyikan kami bermain dan bercengkram dengan binatang2 laut. Tiba2 byurrrrrrr. Teman kami Jhonter Hutabarat alias Jhonter West menjebur dilaut. Spontan anak2 teriak “tulang, west HPloe mana?” termasuk aku yang P3 (Pura2 perhatian). Dengan tenang siwest menjawab “sudah aman kok dikantong saku-ku”. Doooong serontak kami tertawa terbahak2. Jhonter dodol ya rusaklah HPnya terkena air laut.

Puas setelah menyantap seeafod dengan hasil tangkapan sendiri, maksudnya hasil tangkapan kerambah. Ikan kerapu, lobster & kepiting semuanya manis2 fresh graduate. Kok manis perasaan nyucinya diair laut hehheheheh. Dasar manusia kalau the power of kevevetnya timbul, tak inget teman. Semua air habis diembat, yang tersedia hanya tinggal bir. Termasuk anaknya si nelayan minum bir juga yang dikasi oleh ayahnya. Anak sekecil itu uda dikasi bir, kalau sudah besar dikasih apa ya? Secara aku baru mengenal minuman alkhol pada saat kelas 2SMA itu pun karena ada pelajaran bartending.

Tak terasa mentari telah digantikan dengan rembulan. Saatnya pulang, perjalanan tersingkat yang pernah aku lakukan, pulang pergi 3jam, kerambah. Fuihhh rupanya perahu kami tidak dilengkapi dengan lampu. Was2 juga saat berlambuh dipelabuhan takut nabrak. Karena takut nabrak seperti kejadian kapal Titanic, kami menyoroti pelabuhan dengan HP. Gak ngaruh kali. Untung pak Nelayannya hapal dimana posisi kapal kami harus menepi. Aku tercengang liat anak nelayan yang sibuk mengutak atik mesin yang mengetahui kapan saatnya mesin dimatikan dan ayahnya sibuk mengemudikan kapal. Kalau semenit aja kapalnya mesinnya terlambat dimatikan, jadilah perjalanan kerambanh menjadi jalan menuju kerendah.
Pictures by Indie@rt

Sabtu, 14 Maret 2009

Merana, Menari, Menara

Mobil amfibi office-ku niy. Di darat Oh, di air Yes & di udara Oh No. kalau digabungi oh yes oh no


Sampe tulisan ini aku terbitkan Nias masih terbagi 2(dua) kabupaten. Kabupaten Nias yang beribukota Gunung Sitoli dan Kabupaten Nias Selatan yang beribukota Teluk Dalam. Seperti daerah laennya di Indonsia yang lagi sibuk dengan pemekaran, Nias juga terimbas dengan isu pemekaran yang belum tentu menuju kearah yang lebih baik. Penduduk yang mendiami Nias Utara (saat ini termasuk wilayah administartif Kabupaten Nias) mengusulkan untuk membentuk Kabupaten Nias Utara yang akan beribukota di Lahewa. Kalau doa penduduk Nias Utara terkabul menjadi kabupaten baru, maka tidak tertutup kemungkinan Kabupaten Gunung Sitoli akan menjadi kotamadya satu2nya di Indonesia yang pernah aku tinggali yang hanya memiliki satu buah lampu merah yang tidak beroperasional dan satu pasar sialan (pasar swalayan) yang bernama Anggrek, harganya ajubilah minjalik. Karna satu2nya one stop shopping si pemilik gak pikir2 menaiki harga hamper dua kali lipat dari harga normal. Maleskan….!!! Makanya aku lebih memilih untuk membeli barng dibeberapa toko yang berbeda untuk mengikat pinggang. Kalau disurvei, Nias termasuk salah satu daerah yang termahal di Indonesia. Sebagai gambaran Nasi dengan sepotong ikan sambal sepuluh ribu perak, nasi dengan sepotong ayam goreng lima belas ribu perak, sepiring nasi putih lima ribu perak de el el. Sebelum gempa harga2 barang masih relative normal, namun setelah gempa dan dipenuhi oleh PSK, harga barang melambung tinggi. Salah satu dampak negative PSK adalah meningkatnya harga barang di TKB (tempat kejadian bencana).

Tak terasa sudah hamper 3 taon aku beradia dipulau Nias, jadi wajar kalau banyak daerah2 yang telah aku kunjungi seperti; Gido, Lahewa, Sirombu, Gomo, lahusa, teluk dalam, Tefa’o de el el. Setelah sekian lama baru aku menyadari, kalau Teluk Dalam sebagai daerah satu2nya yang akhiran-nya berhuruf konsonan (kalau ada yang laen don’t hesitate to tell me). Selidik punya selidik, entah masyarakatnya yang gak bisa mengatakan huruf konsonan diakhir kata atau kebiasaan masyarakat yang menghilangkan huruf konsonan diakhir kata setiap mereka berbicara. Makanya gak ada nama daerah yang berakhiran huruf konsaonan kecuali Teluk Dalam. Pernah pada saat aku sedang di teluk dalam seorang bapak yang diwarung kopi dengan ramahnya menawarkan aku sesuatu. ”mari dudu, maka maka kaca, baca-baca kora” "makan kaca?" Tanyaku dalam hati. eh ternyata maksud sibapak menawarkan aku untuk duduk makan-makan kacang dan baca-baca koran. Salah seorang temenku Tender pernah bercerita tentang kasus selisi paha suami istri yang sedang ditangani oleh kepala adat. Dasar tender pinter banget mengarang cerita maksudnya rupanya selisih paham. Yang paling aneh "batu" adalah makian di Nias (catet dan garis bawahi). Jangan sekali2 mengatakan batu dengan orang Nias, karena beberapa wilayah mengganggapnya sebagai makian. Kalau dilanggar siap2 mentraktir makan orang sekampung sebagai hukumannya. Batu kalau bahasa kerennya sepeti F**k gitulah kira2.

Setelah hampir 3 taon berada di Nias inilah yang kurasakan :

Merana, so pasti ada beberapa hal yang membuat aku merana, merinti & meronta disni. Tapi buat sebagian orang itu mengasyikan. Jadi boleh dibilang 50 :50, phone a fiend or ask the audience tuk hasil yang lebih baik.
Pertama
mati lampu menu wajib disini. Beruntung penduduk gunung sitoli yang merasakan mati lampu hanya 2-4 jam perhari secara bergilir. Aku yang kebetulan tingal dilahewa meraskan mati lampu sampe 12 jam perhari. Kalau sudah mati lampu berarti kota mati telah tiba. Tak ada yang mo dikerjakan kecuali masyarakat yang sudah berkeluarga sibuk memproduksi di pulau kapuk. Tapi hari Minggu buat aku hari yang spesial, lampu 24 jam non stop on terus gak ada matinya, karena penduduk Nias mayoritas beragama Kristen agar tidak mengganggu proses ritual religius.
Kedua
Gempa kecil, gempa susulan, gegap gempita kerap terjadi diNias. Hampir tiap minggu kami meraskan gempa kecil2an, kalau dalam seminggu adja tidak terjadi gempa aku sangat merindukan goyangnya. Abis enak, seruh, serem jadi satu. Susah tuk ngungkapinya. Rasanya beda adja, Cuma disini aku sering merasakan gempa.
Ketiga
Banjir. Bila hujan turun dengan deras selama 3(tiga) hari berturut2 sudah pasti banjir akan datang. Beruntung kami memiliki mobil yang canggih. Cuma disini aku bisa merasakan mobil berjalan diatas air yang tergenang seketiak orang dewasa. Rasanya seperti mobil amfibi. Didarat yes diair ok. Tetapi setelah sampe dirumah pengalaman seruku berada diatas mobil amfibi berubah jadi malapetka. Astaga naga ular sanca ular kobra, Kasurku, HP Motorbecak-ku, HP Nokoi-ku, barang2ku basah, rusak semua diterjang banjir yang tidak berperikebinatagan.

Menari ya jelas dong karena Nias surganya seafood. Pernah aku melihat Gurita yang beratnya ampe 30kilo dan ikan segedek gaban. Udang & lobster juga melimpah ruah. Selaen itu Nias juga terkenal dengan pantainya yang indah. Kalau punya dunia petualang bisa menjelajahi pulau2 kecil yang mengelilingi Nias dan pantai yang masih perawan. Yang paling terkenal pantai sorakhe yang pernah menjadi tempat even pertandingan surfing tingkat internasional. Gak terlalu jeleklah. Jadi buat penyatap seafood you are welcome dan pencinta surfing you are more than welcome.

Menara salah dua provider HP berada di dekat tempat tinggalku. Tapi walaupun menara pemancar dekat rumah, sinyalnya sering bestatus itil (ilang timbul). walau uda ngaku sinyal kuat padahal PPK (pura pura kuat). Untuk mengatasi dilemma ini rekan2 sesama PSK sering menggunakan 2(dua) HP dari operator yang berbeda. Kenapa Cuma 2 HP? Karena di Lahewa, Nias hanya ada 2 provider. Siapa adja providernya? Males ah jawabnya, nanti providernya iklan gratis. GPRSnya lemot kale seperti keong, bahkan sering ditengah perjalanan GPRSnya mati dan minta direconnect lagi. Kesel khan?? Jangan Tanya 3G, 3G blom sampe Nias, masih terdampar diSobolga kota terdekat. Trus jangan harap telpon bisa berlama2, dalam hitungan tidak lebih dari 1menit telpon akan mati, kalau orang yang suka ngerunmpi ditelpon dengan berat hati harus menyambung lagi. Kalau tarifnya flat masih mending tapi kalau promosinya berlaku setelah bebicara dimenit ke-2 gondok khan!!

Hidupku di Nias kini tak lebih dari sekedar permainan marana, menari dan menara. Tapi aku yakin suatu hari nanti, aku pasti sangat merindukan Nias. Detik2 keberangkatanku mulai terlihat jelas diambang mata. 31 Maret 2009 aku akan meninggalkan pulau ini. Cukup berat, sedih, terharu biru, berat rasanya melangkahkan kakiku tuk meninggalkan pulau surga yang tidak terkuak ini. Bukan perpisahan yang kusesali tapi pertemuan ini. Bagaimanapun aku harus pergi, pulau ini sudah tidak membutuhkan orang2 seperti aku lagi. Program utama organisasi tempat aku bernaung telah selesai membangun 2.100 unit rumah untuk korban gempa bumi di Nias. Artinya aku juga harus sudah selesai.

Sabtu, 07 Maret 2009

Tak Ada Akar Rampunjabi

Niy dia patung srownoknya

Horre (sambil jungkir2, guling2 kegirangan) long weekend lagi. Senin 9 Maret 2009 yang bertepatan dengan hari Maulid Nabi Muhammad SAW otomatis jadi sabtu, minggu, senin libur panjang. Rencana telah bulat mantap untuk ke Sibolga. Eh udah megang ticket untuk ke Sibolga Jum’at malam, kok malah gigi ku kambuh pada hari H-nya, jadi batal, tumpur, hangus, gosong ticket aku . Kalau bang Meggi Z bilang dari pada sakit hati lebih baek sakit gigi, aku lah orang pertama kale gak setuju, lebih baek makan hati (apapun makanannya minumannya “Ponari Sweat” minuman kaleng yang bakal di produksi oleh ponari akan segera tersedia di super kampret terdekat).

Aku dapat rekomendasi dari dokter kantor supaya mengunjungi dokter gigi di RSU Gunung Sitoli (kalau masih lupa base aku di Lahewa, Nias Utara. Gunung Sitoli Ibukota Nias. Catet & garis bawahi, bila perlu memorikan di HP. Biar gak pada nanya lagi) . Karena direkomendasikan dokter kantor, jadi perjalanan aku di provide mobil kantor.

Setibanya di RSU Gunung Sitoli, aku harus melalui proses wira wiri, tendang sana tendang sini, lempar sana lempar sini, akhirnya suster memanggil aku. Terkejut, tersentak, terkulai lemas. Kok aku di bawa ke poli bedah. Hati kecil ku bertanya2 apa gigiku mo di bedah yak. Padahal pada saat pertanyaan data sensus penduduk diacara wira wiri tadi, aku uda jelasin kalau aku sakit gigi. Alasan klasik yang sering timbul di RS kempung….. kata dokter bedahnya dokter giginya lagi gak masuk, makanya aku di over ke dokter bedah. Dokter gigi ama dokter bedah perut kembung makan ubi gak nyambung la ya bi. Capek deh……

Rekan2 sesama PSK (baca artikel “asyiknya jai PSK" dibawah mengetahui lebih lanjut PSK), menganjurkan aku untuk ke Puskesmas Fodo. Puskesmasnya ampun gedek banget, wajar karena mendapat bantuan dari berbagai mercy (NGO/LSM) berbagai negara. Degan rasa percaya diri, yakin berjalan menuju meja registrasi. Yang ini lebih aneh, kata mbak yang jaga, dokter giginya tugas hanya 3 kali seminggu Senin, Rabu & Jum’at (heran kayak kursus adja). “Kok Bisa? Masyarakat sini sakit giginya seminggu 3 kali ya mbak?" Ketusku bertanya pada mbak penjaganya sambil menahan gigiku yang ngilu. “Kalau hari laen dokternya tugas di OBI (Obor Berkat Indonesia)” jawab mbak dengan acuh tak acuh.

Bergegas ke OBI. Lagi2 untung tak dapat di raih malang tak dapat di tolak. OBInya lagi merahabilitasi dan Konstruksi kantor. Jadi dokternya nganjurkan aku untuk kembali pada selasa. Maksud loe, aku suruh nahan sakit gigi ampe selasa, plis deh!!! heran pada muncul kepribinatangnya para dokter disini!!! Usut punya usut, Tanya punya Tanya, seseorang tak dikenal menyarankan kami di suruh ke poliklinik gigi di jalan gomo, gunung sitoli. Tempatnya ma'af seperti panti pijat, gorden putih kucel menutupi ruang praktek, gak mirip sama sekale poloklinik gigi. Ada 2 pasien yang sedang menunggu di luar dengan menutup gigi mereka dengan sapu tangan dan air liur menetes dibibirnya. Masuk nggak, masuk ngak, yawda coba deh… setelah menunggu beberapa saat, aku melihat seorang bibi kluar dari pintu praktek yang beralaskan sandal swallow dan mengenakan daster dengan seorang pasien. Aku kira itu pembokatnya, “bi dokternya ada yak?” Tanyaku penasaran. “aku mas tukang giginya” catet tukang gigi. Pantesan kirain dokter gigi jelas adja tampengnya aneh. Menggumpulkan sekuat tenaga kabuuuurrrr yuk mari……

Jadi satu hari ini mencari dokter gigi di Gunung sitoli bak mencari jarum dalam jerami. Karena tidak ada tujuan (tak ada rotan akar punjabi), aku mengusulkan untuk melihat musum pusaka Nias, Gunung Sitoli. Secara uda hamper 3 taon di Nias blom sempat berkunjung. Susah banget membujuk rekan2 PSK untuk mengunjungi museum. Aku baru menyadari begitu rendah apresiasi masyarakat Indonesia terhadap museum. Terpaksa aku keluarkan jurus untuk memberi pengertian terhada rekan2 PSK. Begini bunyinya "Museum itu tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan dan pemanfaatan benda2 bukti materiil hasil budaya manusia serta alam & lingkungannya guna menunjang upaya perlindungan & pelestarian kekayaan budaya bangsa. Begitu penting museum untuk kehidupan kita, tetapi di ajak melihat adja kok susah. Giliran diajak ke pantai semua pada hadir". Dengan sedikit wejangan tadi akhirnya aku berhasil mengajak rekan2 PSK ke museum pusaka nias.

Entrance fee Rp2.000/org untuk dewasa. Lucky us didalamnya terdapat 3 objek yang dapat dikunjungi. Ada kebun binatang mini, pantai yang di dekor dengan prosotan untuk anak2 dibibir pantai serta beberapa gazebo berciri khas rumah adat nias di tepi pantai dan ruang pertunjukan barang2 peninggalan Nias.

Diluar gedung exhibition terdapat beberapa patung megalit peninggalan zaman batu. Mataku tertuju pada beberapa patung megalit yang srownok. Maaf anunya, barangnya, urat kemaluan laki2 lagi pada ereksi tegangan tinggi. Setelah tertawa terkeukeuh2 melihat patungnya eh otomatis gigiku sembuh. Musuem dokter gigi yang mujarab. Rupanya masyarakat nias tempo dulu suka tampil porno gartis. Terbukti dengan hasil2 karyanya yang vulgar. Untuk melihat kebun binatang dan bermaen di pantai tidak dipungut bayaran lagi, tapi untuk memasuki wilayah exhibitionnya dipunggut bayaran Rp2.000/org dewasa.

Informasi
Menurut ketua Asosiasi Museum Indonesia (AMI) pengurus daerah SUMUT, 13 museum di Sumut dalam kondisi gawat darurat. Hanya 3 museum yang tertata layak dan memiliki pengunjung yang cukup laris manis yakni museum Pusaka NIas, Rahmadt Galery dan Meseum Negri Provsu. Ayo sukseskan Visit Museum 2009 hehehhehehehe.

Jumat, 27 Februari 2009

Tak Kan Lari Nunung Dikejar

Keren juga posenya si Minah

Bosan dengan ritual malam taon baruan, dari taon2 ke taon, untuk merayakan old and new hanya untuk melihat kembang api, kongkow2, renungan suci (make a wish) dan puncaknya clubbing. Perjuangan melihat kembang api cukup melehkan tidak sebanding dengan yang dilihat, hempit2an, tunjang2an, tendangan2an. Pada hal dari taon ke taon gitu2 adja gak ada peningkatan dan perubahan. Maleskan…!!!! Malam taon baru 2007 kemaren tampil beda, permintaan teman2 untuk merayakan taon baru di Bukit Lawang aku kabulkan. Secara aku khan ketua suku, jadi hak veto ada diaku. Karena rencananya dadakan, minim budget, akhirnya kami putuskan untuk melakukan perjalanan dengan angkot PISSSSS (paket irit sekali sehingga selonjor saja susah).

Perjalan dimulai dari Bandara polonia dengan KPU (koperasi Pengangkutan Umum) menuju ke terminal Pinang Baris. Supir angkot sibuk menyuruh kami duduk 6 8 (enam lapan). Barisan dibelakang supir harus 8 orang dan sebelahnya 6 orang, (Seperti mo di photo adja harus rapi pake aturan. Heran dech… !!!). Mau menempatkan bokong adja susah banget. Kebetulan orang2 yang sebaris dengan aku segedek bagong. Harus berhempit2an ria. 6 8(enam lapan) cocok untuk orang2 kemaren (kerempeng mana keren). Trus perjalanan dilanjutkan dengan bus busuk menuju bukit lawang. Dewi fortuna lagi cuti sakit hari ini, kesialan tidak henti2nya menghujam kami, hampir semua bus ke Bukit Lawang penuh. Gang di bus sudah penuh sesak dengan orang2 berkeringat, busnya hanya difasilitasi AC (angin Cepoi2) doang. AC yang sebagai mediator pengantar aroma theraphy keringat asam manis ke seluruh penjuru bus. Gang dibus sudah mirip gang senggol. Maju kena, mundur kena. Ransel dipunggungku sebagai senjata utama untuk menyingkirkan orang2 sekitarku. “Mas ranselnya dong nyenggol kita” kata seorang penumpang yang berada di belakangku sambil menjauh dariku. “maaf mbak, iya niy memang ransel sekarang payah diatur” Jawabku penuh dengan penuh canda. Syukur setelah 1 jam berdiri ada penumpang yang turun. Akhirnya aku dapat menikmati sempitnya kursi bus busuk ini. Tetep dengan kursi 3(tiga) kiri 3(tiga) kanan, mati gaya, gak bisa bergerak dikitpun. Ramuan BKpangkat3 (bau kaki, bau ketek, bau keringat) tercium tajam dihidungku. Menggugah selera untuk mengeluarkan yang ada didalam perutku.

Perjalanan memakan waktu 3(tiga) jam dan jalannya banyak yang berlubang. Kepala saling beradu, tangan saling meninju, badan bertahan kaku, karena ulah oak supir. Heran supir busnya bukan menghindari lubang tapi hobbynya mencari lubang seperti pengantin baru yang lagi kejar setoran.

Setelah perjalanan yang cukup melelahkan & penuh rintangan, akhirnya tiba juga tempat yang dinanti2 kan. Waaahhhhh Bukit Lawang, sekali dayung 2 3 pulau terlampaui. 3 in 1 dalam satu paket isinya terdapat 3 objek, sungai yang airnya jernih, hutan tropis yang lebat dan orang utan yang hanya terdapat di pulau Sumatra & Borneo. Bukit lawang terletak di bagian timur gunung leuser dengan populasi orang utan lebih dari 5000 orang (orang ataw ekor yak). Kami menginap di Ecolodge Hotel dengan desain natural. Dinding terbuat dari tepas, genteng terbuat dari daun rumbia. Perpaduan natural yang solid. Rata2 penginapan dan restaurant di Bukit lawang memiliki arsitektur yang natural terbuat dari ranting, dahan dan kayu.

Pagi itu tidurku semakin terlelap oleh air sungai Bahorok yang mengalir gemericik, angin semilir menghembus halus gorden, serangga2 mengeluarkan suara2 secara bergantian seperti lagu pengiring tidur yang menina bobokan kami. Raja siang mulai menyinari bumi yang menorobos celah2 dinding tepas kamar yang membuat tidurku terjaga. Siallll…….!!!!!Bangun keesiangan, gatot (gagal total) rencana hari ini. Seharusnya jadwal pagi ini melihat pemberian makan orang utan. Mau apalagi…!!! Setelah sarapan di ecolodge salah dua orang dari waiter restoran memberitahu kami bahwa ada objek laen yang dapat dilihat. gua kelelawar. Sesuai namanya gua ini berisi kelelawar dan batu megalit runcing yang menggantung di langit2 gua.

Ternyata pemberian makan orang utan pake shift. Jam besuk pertama pukul 8:30 - 9:30AM dan jam besuk kedua pukul 3:00 - 4.00PM. Sore itu juga kami berniat untuk melihat orang utan. Padahal kaki aku uda mo patah menjelajahi gua kelelawar. Untuk melihat orang utan tidak segampang yang aku bayangin.
Pertama, dengan arus sungai yang maha dasyat kami harus menyebrang sungai dengan tongkang (perahu kecil) yang melawan arus. Trus abang tongkangnya cuma pake CD doang, tampangnya hancur abis, badan udah tinggal tulang, kerempeng, plus bimoli (bibir montok 5 inci).
Kedua, Niy dia kerjaan yang paling gue malas, tempat pemberian makan orang utan harus mendaki sekitar 45menit. Jalannya licin, dan banyak pacat. Butuh extra hati2 tingkat tinggi. Jijai bajjai dech…!!! Tapi terharu biru juga sih dari sekian banyak pengunjung yang melihat pemberian makan orang utan hanya kami bertiga orang Indonesia sisanya bulek. Jadi dapat perhatian extra. Dibantuin photo dengan orang utan, boleh bantuin ngasih makan orang utan, walau agak takut2 juga. Sipawang orang utan udah teraik2 di belakangku agar tidak mendeketi Minah. Siapa yang tau kalau itu minah. Gak ada bacaanya trus tampang orang utannya sama semua. Bukan salah aku kalee. Aduuuuhhhh halusnya tangan si minah yang mangambil pisang dari tangan ku. (Minah adalah orang utan yang paling agresif, selalu mengambil jatah makan temannya. Hampir semua orang utan takut dengan si minah. Minah berubah menjadi agresif sejak anaknya diambil oleh pemburuh). Tidak setiap pemberian makan orang utan selalu datang orang utannya. Apabila tidak datang maka rehabilitasi bisa dikatakan berhasil, artinya mereka dapat kembali kehabitatnya mencari makanannya sendiri. Tak kan lari nunung dikejar. Lucky us, shift pagi tadi orang utan kesiangan juga bangunannya, jadi gak ada yang datang, malah shift sore kami dapat melihat 5 ekor orang utan.

Turun dari tempat pemberian makan orang utan, nampak pemandangan yang janggal, disungai banyak sekale orang2 Indonesia yang berkelompok2, malu aku ceritainnya, jauh2 dari berbagai penjuru hanya sibuk mandi2 di sungai, berenang2 gak jelas. Pokoknya uda gak nampak lagi kaalu itu sungai tapi sudah mirip seperti lautan manusia. Mau gerak adja susah saking bejibunnya manusia, apa lagi renang. Kalau Cuma mandi kan bisa di kolam renang atau kamar mandi. Cukup ironis tak jarang dari mereka gak tahu kalau Bukit Lawang terkenal dengan pusat rehabilitasi orang utan. Yang mereka tahu hanya sungai Bahorok.

Catatan kecil:
Kalau berniat pergi ke Bukit Lawang hindari weekend & hari libur agar tidak crowded penuh dengan lautan manusia renang gak jelas di sungai Bahorok.
Orang utan adalah sejenis kera besar dengan lengan panjang berbulu kemerahan, terkadang cokelat, hidup hanya di Pulau Sumtra dan Borneo. Mereka memiliki tubuh yang gemuk, berleher besar, lengan yang panjang dan kuat, kaki yang pendek dan tertunduk, dan tidak mempunyai ekor.
Orang utan memiliki indera yang sama seperti manusia, yaitu pendengaran, penglihatan, penciuman, pengecap dan peraba.
Orang utan besarnya kira2 2/3 dari ukuran gorilla. Untuk betina tingginya 0,8 – 1,1m dan beratnya sekitar 59kg. Sedangkan Jantan tingginya 1 – 1,4m dan beratnya sekitar 90kg.
Kamarnya yang natural

Minggu, 15 Februari 2009

The Rock Star Toreloto Beach

Toreloto in Action


Setelah 2 hari cancel dengan alasan cucaca buruk, akhirnya aku dapat mendarat dengan mulus di Binaka Airport, Gunung Sitoli Nias. Seperti airport kecil laennya tidak ada yang spesial. Petugas check in yang tidak kenal ramah tameng dengan wajah sadis melayani customer dengan rokok ditangan, petugas airport tax yang duduk sejajar dengan petugas donasi mirip kelompencapir yang siap bertanding. Namanya aja donasi, tapi obligatory harus dibayar, emang jumlah tidak banyak cuma 3.000 perak. Tapi terkadang tetep adja ada yang gak ikhlas, namanya donasi kok dipaksa. Ada petugas X-ray yang kadang males mengidupkan mesin scan X-raynya. Blom tau jelas apakah mesinnya rusak ataw petugasnya yang males memeriksa bagasi. Yang paleng lucu ruang keberangkatan yang belum menggunakan alat speaker mengharuskan petugas boarding teriak2 seperti di terminall bus. “Merpatii-merpati-merpati, ayo pak, bu merpati silahkan boarding”. Teriak salah seorang petugas boarding dengan menggunakan toak dikalungkan dilehernya. Yang membuat aku terpukau seorang bocah menarik bagasi penumpang (pesawat Foker 50) dengan troli seorang diri ke ruang baggage claim, jumlah penumpangnya sekitar 50 orang. Wahhh hebat tapi tetep tak manusiawi. Tanpa ada komando seluruh penumpang yang jauh mendekat dan yang dekat merapat ke baggage claim area. Semua penumpang sibuk menunjuk bagasinya masing2 yang dilayani oleh hanya 2 orang petugas. Tak seorangpun yang berinisiatif untuk menunjukan sifat budaya antri (Bebek adja bisa antri, kok manusia kalah sama bebek gak mo antri). Namanya travel bag hampir mirip semuanya, aku sendiri gak mau kalah sampe 3 kale menjuk bagasi yang mirip dengan miliku. Tapi setelah dicocokan nomer dengan bagasinya salah. Capek dehhhh…!!!

Perjalan dilanjutkan ke Lahewa. Pada saat itu Gunung Sitoli – Lahewa ditempuh dalam waktu 4 jam. Padahal jaraknya Cuma 80km. Banyak jalan yang berlubang, jembatan putus, jembatan temporary yang terbuat dari batang kelapa, kalu ban mobil terselip siap2 lah mendarat ke sungai. Ada 1 jembatan panjang yang bernama Muzoi. Disitu terlihat jembatan sampe 3 buah (1 buah collapse, 1 buah temporary dan 1 buah dalam proses pembangunan). Muzoi bisa mendapat piala citra kalau ada kategori untuk jembatan terbanyak.

Setelah makan siang di Ina Irfan (ina dalam bahasa nias artinya ibu, orang nias menyebutkan nama panggilan mereka pada anak pertamanya. Jadi Ina Irfan artinya Ibunya si Irfan/Irfan adalah anak pertama) kami menuju pantai Toreloto dengan menggunakan sepeda motor. Tepat didepan jalan menuju pantai terbangun gapura selamat datang yang terbuat dari batang kayu kelapa menyambut kami. Kami menyusuri jalan setapak yang sebelah kiri dan kananya dihuni tumbuhan liar semak belukar yang tingginya melebihi pinggang orang dewasa. Pantai yang unik, pasir putih terhempar didepan mata, air jernih yang tenang dan batu2 karang raksasa yang berjejer rapi tak jauh dari bibir pantai yang membelah lautan seperti terbelah dua menjadikan pantai ini begitu berbeda. Sekali2 tampak melintas didepan kami beberapa nelayan menggunakan perahu tua dengan bapak tua yang piawai mengemudikannya.

Keindahan laen yang tampak jelas beberapa gubuk tua yang berjajar di pinggir pantai dan batu karang raksasa muncul dipermukaan bibir pantai. Kami yang pada saat itu ber8 orang berlomba2 lari untuk berdiri diatas batu karang raksasa untuk berpose ria. Inilah saatnya yang tepat untuk mengabadikan momen. Beberapa batu karang raksasa masih unjuk gigi dengan perkasanya dibawah sinar mentari, namun tepat di sebelah gubuk tempat kami berteduh tampak batu karang raksasa yang telah dikapak olah orang yang tak bertanggung jawab, tak secuilpun tersirat seni digoresan batu itu, tidak jelas maksud dan makna yang terkandung dalam bentuknya.

Pasir pantai yang tadinya berwana putih-cerah memantulkan cahaya berubah menjadi terlihat putih abu2 seiring tenggelamnya matahari. Inilah waktu yang tepat untuk menjalankan misi ritual kami, berendam, berenang, mengapung dan terkadang jiwa masa kecil suram kami timbul. Melompat dari batu karang, lempar2an pasir dan siram2an air. Segar rasanya berenang di air yang jernih tenang tanpa ada ombak sedikitpun, seperti berenang di kolam renang raksasa yang luas tanpa bertepi. Novi, Roy, Imey, Elis dan Pit sibuk berenang dengan menggunakan life jacket dan google. Sementara aku dan Indah sibuk memotret ulah pose nakal mereka dari berbagai sisi. Rasanya, menghabiskan waktu seharian disni pun tak akan bosan!!

Dari kejauan mulai tampak jelas perahu tua menuju kearah kami. Akhirnya yang kami tunggu2 datang juga. Kami menunggu perahu tua itu untuk merapat kebibir pantai. Tak sungkan beberapa diantara kami membantu bapak tua itu untuk mendorong perahu agar merapat ketepi pantai. Setelah ritual mendorong perahu selesai, kami segera merubungi nelayan dengan harapan terbesit didalam hati kami, semoga hasil tangkapannya melimpah ruah. Namun tidak sesuai dengan yang diharapkan hasil tangkapanya hanya tiga ekor ikan bawal diet. Tak terasa mentari sudah digantikan dengan rembulan. Kami hanya dapat membeli tiga ekor ikan bawal diet untuk dibawa pulang. Perut kami mulai terasa keroncongan karena pengaruh dari berendam air seharian.

Seperti daerah pedalam laennya, bila malam tiba berarti kota mati telah datang. Tidak ada kehidupan dan kegiatan. Kami hanya dapat berpangku tangan, bercengkram satu sama yang laen dan sibuk dengan kegiatan yang tak menentu arah. Jaringan GPRS yang lambat membuat kami enggan untuk bersentuhan dengan dunia maya. Malam semakin larut, yang terdengar jelas hanya suara jangkrik2 yang berlomba2 bernyanyi memacahkan keheningan malam sebagai bulu perindu dongeng sebelum tidur, menunggu malam berganti dengan hari yang penuh petualangan.

Catatan:
Seiring dengan perkembangan Rehabilitasi dan Konstruksi jalan di seluruh penjuru Nias. Lahewa sudah dapat ditempuh tidak lebih dari 2 jam dari Ibukota Nias, Gunung Sitoli.