Rabu, 04 Februari 2009

Supplier Kampung Yang gak Kampungan

Niy dia rumah bantuan Palang Merah Kanada
Perasaan senang tercampur dengan keraguan menyelimuti diriku pada saat itu. Seharian terus memikirkan job offer yang aku terima dari Palang Merah Kanada. Sudah kesian kalinya ku pandangi monitor. Karena merasa tidak puas akhirnya aku print, karena tidak percaya dengan yang aku baca, kuberanikan diri meminta kepada teman membacakannya untukku, namun tidak berubah juga, tetap aku ditempatkan di Lahewa. Kelihatan aneh, tapi inilah yang terjadi. Pada umumnya seorang procurement bekerja di wilayah perkotaan, setidaknya aku ditempatkan di Gunung Sitoli, Ibukota Nias.

Ibukotanya saja tidak lebih dari 2km persegi luasnya, dan hanya ada satu lampu merah dipersimpangan Diponegoro & pelita, itupun tidak berfungsi, angkutan lokal hanya becak dayung & becak mesin. Bila malam tiba seperti kota mati tidak ada kehidupan ditambah mati lampu bergilir yang kerap terjadi. Ibukotanya saja seperti ini. Aku tidak dapat membayangkan bagaimana dengan lahewa. Tapi demi kemanusian aku bulatkan tekad ku. Aku pasti bisa.

5 Juni 2007.
Hari kedua bergabung dengan Palang Merah Kanada- Lahewa, Nias. Aku baca semua standar & prosedur Finacial Limit for Purchases of Goods and Services. Dalam hati membantah ingin rasanya memberontak, “gila hanya 1 juta membutuhkan 3 penawaran”. Tapi yang namanya peraturan di buat untuk dijalankan bukan untuk dilanggar.

Misi Minggu pertama
Mengenal tempat, Keliling2 supplier, memberikan penjelasan prosedur dan standaar financial CRC. Jangankan bisa bicara dengan pemiliknya, dipandang saja sudah syukur. Aku berdiri sudah lebih dari satu jam, masih tetep diabaikan seperti tunggul kayu tua yang tak berguna. "tega ya" gumamku. Maklum masi suasana paska gempa. Masih banyak yang membutuhkan bahan bangunan. Aku tidak patah semangat. Aku terus melakukan investigasi kecil2an. “Kapan saat yang tepat untuk berbicara kepada mereka”. Investigasiku tidak sia2, akhirnya aku mendapatkan jawaban. Sabtu sore, adalah waktu yang tepat untuk bebricara dengan mereka. Pada saat itulah toko sepi dan lengah.

Pada awalnya toko2 keberatan untuk diajak bekerjasama. Tidak semua toko mau menerima pembayaran dengan cheque dan bank transfer. Apalagi peraturan financial Palang Merah Kanada yang mengharuskan membayar degan check atau bank transfer bila lebih dari 1 juta. Supplier meminta pembayaran cash dibawah 5 juta. Pendekatan pertama gagal.
Pendekatan kedua dengan memakai strategi. Aku undang supplier ke kantor untuk membicrakan prosedur CRC. 90% toko menolak dengan alasan yang kompak & seragam (seperti anak panti) tidak memiliki waktu luang. Aku setujui permintaan mereka untuk melakukan pertemuan di hari Minggu. Bulan pertama aku banyak menghabiskan waktu weekendku di gunung sitoli.

Dengan penjelasan atas nama kemanusian dan menolong masyarakat yang membutuhkan, bukan sekedar untuk mencari untung belaka dan kemauan untuk belajar dari seorang pebisnis kempung menjadi pebisnis professional (seperti pendeta berkhotbah mereka menndengarkan kata sambutanku degan antusias). Meraka membuka lapang dada menerima peraturan & prosedur CRC. Cukup sulit juga untuk memulai suatu hal. Prosedur sudah dijelaskan namun masi ada saja kesalahan.
Penjajakan pertama
“Bang seperti penjelasan di rapat kita tempo hari, jadi surat permintaan penawaraannya diisi, nanti siang saya jeput kembali” kata ku. “Gampang.. pokoknya bos terima bersih” Dengan semangat pemilik toko menjawabku. Tiba saatnya aku menjuemput penawaran. 3 dari 5 supplier menjawab “bang barang sudah aku sipakan , tinggal diangkut ke mobil, mana mobilnya bang biar anggota yang naekan”. “Lho kertas yang saya kasi tadi pagi mana?” Tanya ku. “sudah saya buang, tapi saya sudah tulis kok di bon” jawabnya dengan enteng. Alamak.....!! Aku hanya bisa senyum kecut pada saat itu. Dengan hati yang sabar aku jelaskan kembali kepada mereka arti dari surat permintaan penawaran.

Masih banyak kejadian lucu, aneh yang akan aku wariskan ke anak cucu ku kelak. Telponku berdering “Barang2 yang abang ambil kemaren kok bayarnya pake kertas? Gimana niy bang?” Kata supplier di ujung telp dengan logat sedikit marah. “Ohhhh itu namanya check, kita bisa cairkan di bank, ntar kalau saya ke gunung sitoli, saya akan kasi tau cara mencairkannya” Jawab ku.

Belum lagi keterbatasan komunikasi dengan supplier yang luar kota. Kalau mereka memiliki jaringan internet fine. Tapi bagaimana dengan yang tidak memeiliki internet, via pos? Akan tiba 2 minggu kemudian, via fax? No fax communication at our office. Akhirnya melalui pendekatan yang baik dengan beberapa LSM aku dapat menerima fax melalui mereka. Seperti penjajah, Bila fax sudah diterima, tidak segan2 aku minta tolong mereka untuk scan and email ke aku. Tentunya dengan balasan iming2 yang memukau, walaupun belum pernah janji yang aku tepati. Hehehehehe jangan bilang siapa2!!!

Pernah aku mengalami kejadian yang memalukan. Pada saat itu fax dibeberapa LSM rusak, akhirnya karena hubungan yang baik aku bisa berhasil menerima fax dari salah satu supplier yang berada di Gunung Sitoli. “Andi saya sudah terima fax dari Medan” Kata supplier. “Thanks bang nanti kalau ada orang yang ke gunung sitoli aku suruh meraka ambil” Jawab ku. “Eh bang harga mereka lebih bagus dari harga yang aku kasi, jadi meraka yang menang baa” kata supplier dengan aksen Nias yang kental. Aku hanya bisa garuk2 kepala, sambil bergumam dalam hati “kejadian terbodoh yang pernah ku alami”.

Ini baru kejadian supplier. Rintangan dan halangan delivery proses tidak kalah serunya. “Jembatan muzoi putus” kata operator radio room kepadaku. Alamak.. Satunya2 akses menuju dari dan ke lahewa harus melewati jembatan. Minyak adalah hal yang penting tulang punggung proses kegiatan. Stock minyak semakin menipis hari demi hari. "kenapa gak pake porter adja, jadi orang kok repot" celetuk congo. "Kalu gak mo repot jangan jadi orang, lagian porter juga manusia" potongku.
Porter dadakan pun menjamur. Tidak pandang bulu semua yang dekat denganku, aku kerahakan menjadi porter. Dengan semangat 45 kami berhasil menyebrangkan drum kosong untuk disi di Gunung Sitoli. “Siapa yang angkat drumnya kalu sudah disi 200liter / drum mana ada yang sanggup angkat bang” celutuk salah satu security. Ide berlian datang tak diundang dibenaku. Dengan menggunakan selang sebagai senjata, kami pompa minyaknya dari drum yang berisi ke drum kosong. Lumayan jauh jaraknya ±40m membutuhkan waktu seharian untuk memompa 5 drum.

Paling tidak ini terbayar, dengan semangat one team, kami dapat menyelasaikan membangun 2100rumah di 24 desa. Bangga rasanya melihat rumah2 bantuan Palang Merah yang berdiri seperti jamur bermunculan dimusin hujan.
Notes:
Ternyata 75%, para supllier di Gunung Sitoli memakai barang bermerk seperti Bonia (Boneng niy ya??) serius bonia asli, yang gak kalah gengsinya, operasi sinus adja sampe ke Rumah Sakit Raffles Hospital Singapore. Tuhh ternyata mereka gak kampung2 amir.

1 komentar:

  1. Cerita yang tentang suppliernya keren abis...Jadi tau suka duka Ling-ling dalam menjaring 'persahabatan' dengan supplier!! Angkat jempol deh buat Ling-ling..

    BalasHapus

Jangan sungkan tuk ninggali komen. Plissssss